Sudah Saatnya Kawasan Hutan Pegunungan Dieng Diperhatikan

KONDISI hutan di kawasan pegunungan Dieng saat ini mengalami kerusakan, akibat berbagai kegiatan yang tanpa memperhitungkan lingkungan hidup. Beberapa areal hutan yang semula tumbuh flora dan fauna, kini berubah fungsi menjadi areal perladangan yang diolah, sehingga tata guna tanah pun berubah fungsi. Ironisnya lagi, kerusakan itu mengakibatkan terdesaknya populasi satwa langka yang dilindungi dan satu-satunya yang ada di Dieng.

Kegiatan lain yang memperparah kerusakan hutan Dieng adalah penebangan liar, perluasan areal pertanian, dan kebakaran hutan. Kerusakan itu terjadi karena dilakukan berbagai pihak masyarakat, petani, dan petugas yang menangani kehutanan.

”Kita harus jantan mengatakan kerusakan hutan itu akibat ulah masyarakat sendiri, petani, termasuk petugas kehutanan. Mengapa ? masyarakat tingkat ekonominya rendah, petani kekurangan lahan, lemahnya dan kurang aktifnya pengawasan oleh Perhutani. Sementara itu, pemda kurang memberi prioritas terhadap warga sekitar. Di sisi lain, tidak adanya kesepakatan tertulis antara Perhutani dan masyarakat,” kata Thomas Ony Veriasa, Koordinator Regional Mitra Dieng.

Rusaknya kawasan hutan itu, menjadikan masyarakat dan berabgai pihak untuk menyelamatkan kawasan pegunungan Dieng. Keterlibatan masyarakat dalam upaya penyelematan hutan diperlukan, karena mereka yang terkena dampak jika hutan rusak.

Sebagai tindak lanjut, belum lama ini diadakan ”Seminar Nasional Penyelematan Kawasan Dieng” yang dilaksanakan di Desa Tombo, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang yang diikuti oleh perwakilan masyarakat sekitar hutan Dieng yang meliputi enam kabupaten yaitu Batang, Banjarnegara, Kendal, Pekalongan, Temanggung, dan Wonosobo.

Dipilihnya Tombo, karena merupakan salah satu desa di Kabupaten Batang yang masuk wilayah Kecamatan Bandar yang masih memiliki hutan yang tersisa. Desa itu, menjadi bagian terpenting dalam menjaga seluruh kawasan Dieng, karena letaknya yang langsung berbatasan.

Hutan Tombo berada pada ketinggian 400 – 1.200 meter dari permukaan laut (dpl). Dikelilingi dua sungai besar yaitu Kali Kupang dan Kali Lojahan. Sementara di sebelah selatan, berdiri tegak menghijau Gunung Sinduk, di mana terdapat hutan lindung yang dikenal dengan nama Alas Sutorenggo. ”Di hutan inilah, tempat bermukimnya berbagai satwa unik endemik Dieng berada. Konon, menurut hikayat masyarakat, tokoh wayang Gatotkaca pernah bertapa di Hutan Sutorengo,” ujar Aminudin, dari LSM Jeram.

Di Batang, sebenarnya masih banyak hutan di pegunungan Dieng sebelah utara yang masih tersisa seperti yang ada di Tombo. Sebut saja, Sikesut, Kalitengah, dan kawasan hutan Gunung Kemula (Kamulyan) di Desa Gerlang Kecamatan Blado yang memanjang ke timur sampai di Pranten (Bawang).

Tombo tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan. Karena dulu pada zaman penjajahan Belanda, pernah menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Bandar. Lokasi itu kini menjadi kompleks perumahan Perhutani.

Dia menjelaskan, Desa Tombo dibagi menjadi empat dusun yaitu Tombo, Centuko, Tampingan, dan Bleder. Jumlah penduduknya pada tahun 2002 sebanyak 570 kepala keluarga yang terdiri atas 2.613 jiwa. Kesadaran akan pentingnya sumber daya alam (SDA) menggugah masyarakat membentuk dua kelembagaan yaitu Tirto Tombo untuk menangani masalah air dan Rekso Tri Mulyo untuk mengatasi masalah hutan di wilayah Desa Tombo.

”Kedua kelembagaan itu, disahkan dan lindungi dengan peraturan desa sesuai dengan UU No 22/1999 tentang otonomi daerah. Disamping mendapat dukungan dari program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,”ujar Slamet.

Tekad Bersama

Selesainya seminar adalah membangkitkan kesadaran dan tekad untuk menyelamatkan alam dan lingkungan di kawasan hutan Dieng. Karena itu, perwakilan masyarakat sebelas desa yang telah melakukan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan desa meliputi Desa Tombo, Pranten, Silurah (Batang), Pekasiran (Banjarnegara), Blumah (Kendal), Kayupuring dan Botosari (Pekalongan), Wates (Temanggung), Sembungan (Wonosobo) dan membuat deklarasi Tombo.

”Kami dari desa-desa di sekitar Dieng membentuk Paguyuban Lembaga Lestari Mukti. Mengandung filosofi lestari hutannya mukti masyarakatnya,” ujar Ketua Waris Ng didampingi Sekretaris Rochim.

Tujuan khusus kegiatan di Desa Tombo adalah pengakuan atas kelembagaan desa dalam pengelolaan sumber daya hutan desa. Meningkatkan kesadaran beberapa pihak dalam penyelesaian masalah kawasan hutan di pegunungan Dieng. ”Memperkenalkan berbagai model kelembagaan desa dalam pengelolaan sumber daya hutan di pegunungan Dieng. Kondisi hutan di kawasan itu, kalau tidak segera ditangani berakibat fatal, menyusul hilangnya fungsi hutan sebagai daerah resapan sekaligus tempat pasokan air dan penyediaan oksigen,”ujar Koordinator Jaringan Mitra Dieng Fachrudin Rijadi.

”Ada juga binatang yang dilindungi dan terancam punah seperti harimau tutul (panthera pardus). Serta mamalia endemik pulau Jawa seperti babi hutan (sus verrcosus) dan jenis-jenis monyet seperti owa (hylobates moloch atau kera tidak berekor), surili (presbytis comata), dan lutung (trachypithecus auratus).

Disamping itu, di kawasan hutan Dieng terdapat 42 species burung, 19 di antaranya species endemik pulau Jawa serta tumbuhan spesifik yang hanya hidup di pegunungan Dieng seperti Purwoceng (pimplinea pruacen) tanaman sejenis obat,”papar Fachrudin.

Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Lingkungan Hidup (LePPLing), Wisnu Suryotomo mengatakan, pengetahuan masyarakat pada hutan masih sebatas. Padahal, masih banyak fungsi hutan baik ekonomi, ekologis yang sangat penting antara lain hidroorologi, penyimpan sumber daya genetik, pengatur kesuburan tanah dan iklim serta penyimpan karbon. (Arif Suryoto–80)

SUMBER : (klik icon)

Leave a comment