Dieng – ilovemonday

Sabtu siang yang mendung

Seperti biasa, sendiri menuju Dieng. Di tengah perjalanan dingin di badan mulai terasa. Berhenti sebentar untuk ganti jaket yang lebih hangat. Setelah melongok tas, tak dijumpai jaket yang saya maksud… azzzz sial rupanya si jaket gak masuk  packingan hari ini. Terpaksa saya lanjutin pakai switer tipis yang dipakai dari rumah. Memasuki daerah konservasi dataran tinggi Dieng udara semakin dingin terasa di badan #brrrrr

Sampai Dieng jam setengah 5, langsung masuk ke homestay Bu Djono, tempat di Dieng yang sangat nyaman. Begitu masuk langsung disambut pak Didi, dia mengatakan ada beberapa orang mencariku dan kemudian mempertemukanya. Dia adalah rombongan dari Jakarta, Farhan dkk (diluar segala penyamaranya). Berisi 7 anak muda, 5 cowok dan 2 cewek. Setelah berkenalan, mereka adalah Erwin, Lancip, Maman, Anto, Karin, Puput dan Farhan (nulis nama terakhir tetep dengan tertawa #ngakak). Oh ya, ada 1 yang bukan dari Ibu kota, dia adalah puput dari Salatiga, yang bertemu rombongan mereka di terminal Wonosobo. Rombongan ini yang menghubungiku 1 minggu (1 bulan dink aslinya kalo inget id Ahmad.JP :p) sebelumnya untuk diurusin homestay, makan, guide dan transport selama di Dieng. Dan kami janjian bertemu sabtu sore di longweekend ini. Kami mengobrol sebentar di samping homestay, lalu mereka lanjut masuk ke kamar yang sudah saya bokingkan beberapa hari yang lalu. Selanjutnya saya ngacir ke warung miayam depan homestay, sambil liatin situasi jalanan Dieng sore ini. Cukup ramai walau gerimis udah mulai turun.

Sebelum maghrib saya balek ke homestay. Duduk di depan tv ditemani segelas teh panas. Ngobrol ngalor ngidul ma  Mbah Sur, orang Bandung pemilik homestay ini. Sesekali ngobrol ma mas Dwi yang sibuk melayani para tamu di restoran. Hujan turun, membuat switer yang saya pakai gak sanggup membentengi tubuh yang tak seberapa ini #beerlleee…
Setelah maghrib si Farhan turun (a.k.a geilandri) ngobrolin mau gimana besok dan dll nya. Of course, saya hanya memudahkan dan menuruti permintaan mereka. Tak banyak obrolan terjadi, yang jelas saya mudeng dan tau mau mereka :p. Setelah cukup hangat karena jaket pinjeman mas  Dwi, saya keluar ke per3an depan. Nemuin kang Sugeng, guide lokal Dieng yang cukup akrab dengan saya. Ada beberapa guide lain dan tukang ojek bersama saya malam itu. Kebetulan malam itu tanggal 16 jawa, semalam setelah bulan purnama. Dan sisa-sisa purnama masih terang buat malam ini. Cukup menarik berinteraksi dengan mereka, dipayungi cahaya bulan dan ngobrol dengan bahasa “ngapak” khas Dieng.
Jam 9 malam mas Dwi menghampiri saya, lalu kami makan malam bareng di warung bu Yati. Makan di depan tungku arang… #lumayan angetin badan. Setelahnya kembali di homestay dan  Farhan dkk sudah ada berada di balkon penginapan. Perkenalan yang cukup menarik dengan mereka sembari menguntal martabak manis. Jam 10 lebih mereka masuk kamar dan saya menuju kamar atas, tidur sekamar bareng mas Dwi #mahos

Minggu jam 4 pagi

Saya dibangunkan mas Dwi. Para tamu homestay bersiap sunrise di Sikunir. Mas Dwi ngantar 4 tamu dari Singapur dan saya nganter Farhan dkk.  Cuci muka, gosok gigi dan panasin motor… kegiatan yang gak pernah saya kerjakan kalau dirumah dikala jam 4 pagi (“,)…
8 orang berbonceng dengan 4 motor (dan saya berbonceng dengan anto), bersiap dan kami berangkat menuju Sikunir dengan sisa bulan semalam dan udara yang cukup dingin. Sampai di desa terakhir, Sembungan, lanjut ke parkiran telaga cebong.  Ada kang Herman dkk, petugas tiket dan parkir Sikunir, kang Yuna berserta istri yang jualan minuman anget dan makanan khas Dieng di kaki gunung Sikunir. Mereka adalah orang-orang wisata yang cukup akrab dengan saya. #so what…

Treking Sikunir Dimulai. Situasi masih gelap, angin tak terlalu bertiup kencang. Perjalanan santai dan tanpa rintangan. Sekitar 30 menit kemudian sampai di puncak ke 2. Kita beristirahat disitu, nungguin sunrise bersama wisawatan lain. Cukup ramai pagi ini… cuaca cerah.
Farhan dkk asik mengobrol, becanda dan foto-foto disini. Saya hanya diam karena ga mudeng apa yang mereka obrolin haha. Sembari mereka puasin sunrise disini, saya mengampiri kang Tusman, penjual minuman anget di Sikunir.
Sekitar setengah jam disini, Farhan dkk berminat ke puncak pertama Sikunir. Dengan treking sekitar 10 menit kami berjalan ke atas sampai puncak. Sesampai puncak tak kalah ramai, banyak yang gelar tenda disini. Kami membongkar trangia, berniat nyeduh kopi dengan sisa air yang menipis (ontanya dah pada aus pas di puncak ke 2, gara-gara itu air aq*a 1 liter dah hampir habis duluan #pisss hehe). Dengan sisa air yang ada, cukup untuk 2 gelas kopi buat ramai-ramai. Di titik ini view nya lebih bagus dari puncak 2, Sindoro dan Wonosobo terlihat dari sini. Berfoto adalah kegiatan wajib, apalagi ada si Anto, dedengkot Klastic ibu kota. Dia bawa 2 kamera yang masih pake rol film (kagak mudeng aing apa aja merk kameranya #hammer). Setengah jam lebih kami habiskan dengan ngopi, foto dan ngobrolin Dieng. Lalu kami turun menuju parkiran telaga cebong, tempat pertama kami naik. Parkiran dah sepi, petugas karcis ma parkir sudah pada pulang. Lumayan 8rebu kami utuh karena gak bayar parkir hiihihii

sunrise sikunir

karing bareng

Tujuan selanjutnya adalah telaga Warna. Mereka sarapan mi Ongklok, sate ayam dan tempe kemul di salah 1 warung di areal parkir. Dilanjut treking, tetapi ini bukan masuk ke area telaga Warna dan Pengilon beserta komplek goa Semarnya. Kami menuju bukit Sidengkeng, bukit diutara telaga. View disini lebih luas dan bisa melihat ke 2 telaga dari atas. Punggungan gunung Prau juga terlihat jelas dari sini #hugs
Dilanjut ke kawah Sikidang. Saya memilih tidak masuk di area kawah dan menunggu mereka di parkiran sambil ngopi dan nguntal tempe kemul. Panas cuiii… mending ngendon di warung mbak-mbak berjilbab haha. Rampung di kawah langsung nuju areal candi Arjuna. Cukup ramai juga disini dan saya memilih duduk di pojokan pura-pura dongo seolah baru pertama kesini sambil liatin orang berlalulalang, dan mereka asik poto-poto di sekitaran candi. Panasnya mulai anyingg, (dalam hati : dijamin bakal pecah-pecah ni wajah kalo sampai rumah). Sekitar pukul 1 siang kami cabut dari candi. Berbonceng dengan karin, yang lalu dia curhat kalo kakak perempuanya gak buruan dilamar ma kekasihnya hahay… Masuk ke homestay, berniat makan siang dan istirahat sebentar sebelum melanjutkan explore area Dieng 2. Belum lama di homestay, hujan turun dengan santai dan tanpa dosa, membuyarkan rencana mereka yang hendak lanjutin explore. Kabut tebel pun ikut serta membuyarkan pandangan kalau kita jadi jalan. Suasana yang komplit buat malas beranjak dari homestay. Diputuskan Dieng 2 batal karena perubahan cuaca yang mendadak ini. Mereka memilih tidur dan kemudian makan siang di warung bu Yati yang tak jauh dari homestay. Sore hujan kami habiskan di kamar sambil ngopi pakai trangia (walau mas Dwi sebenernya gak bolehin haha).

sidengkeng, bukit utara telaga warna + pengilon

lancip + karin @ sidengkeng

areal candi arjuna

mie ongklok + sate ayam

Malam dihabiskan dikamar, pada maen uno yang saya sama sekali gak tau cara mainya. Jam 9 saya turun, liat Arsenal vs ManCity bareng mbah Sur. Gilak ni mbah-mbah masih kuat melek + tau info-info bola, semangat pula ngobrolnya, kaya pangeran Diponegoro ketika memarangi VOC #berle!. Tak lama mereka ikut turun dan memesan makanan di homestay. Situasi hening resto homestay pun pecah ketika mereka turun dari lantai 2. Sambil makan mereka ngobrol dan ketawa cukup keras haha. Dinginya Dieng mereka isi dengan obrolan khas anak muda yang hangat dan akrab. Tapi terlihat disitu Puput hanya diam saja, menjadi pendengar yang baik bagi gank ibu kota haha…
Jam 11 rampung makan mereka cabut ke kamar, sebagian ikut nonton bola bareng saya  dan mbah Sur walau akhirnya mereka pada tumbang setelah babak pertama berakhir. Tinggalah saya dan Mbah Sur lanjutin sampai bubaran, kemenangan 1-0 untuk Arsenal (Arteta 63′)
Pukul 12 lebih saya beranjak ke kamar lantai 3 dan zzzzzz…

situasi kamar homestay

Senin Pagi yang cerah dan berulang kali bilang  ”ilovemonday”

Saya sendiri bangun pukul setengah 9, capek dan kebetulan ga ada treking lagi untuk hari ini. Mereka memilih untuk jalan-jalan di sekitaran Dieng, dan tidak jadi ke Dieng 2. Bersih-bersih badan di balkon belakang lantai 3, matahari muncul gagah dari balik gunung Prau, membuat saya betah karing dengan pak Didi yang sibuk mencuci  selimut di washing machine yang dipakai para tamu hari sebelumnya.  Dan ngopi diresto rasanya cukup nikmat di pagi ini, saya bergegas ke bawah…
Farhan dkk turun dan sarapan di warung belakang homestay. Saya menunggu santai di depan pesawat telepisi, nyruput kopi dan nyemil tempe kemul dari dapur hehe.

sarapan

Pukul setengah 12 mereka selesai makan. Tujuan kali ini adalah jalan ke candi Dwarawati, 1 candi yang terletak di kaki gunung Prau. Melewati perkampungan penduduk di Dieng Kulon dengan jalan yang cukup bagus. Kira-kira 20menit kita sampai di candi. Ada yang berpose kaya arca, ada yang sok asik sendiri, ada yang duduk-duduk dirumput, ada yang latihan poto prewed… mereka adalah sekumpulan anak muda yang gembira :p
Sentra oleh-oleh Dieng, tujuan kami selanjutnya. Mereka saya ajak ke pembuatan carica dan oleh-oleh Dieng lainya di salah satu penduduk di Dieng kulon. Tester berupa 2 botol carica segar dan 1 bungkus jamur crispy habis dihajar masa haha. Mereka memborong berbotol carica, berbungkus jamur dan jajanan lainya. Tau deh kalau ada yang diem-diem nyempil belanja purwaceng #ups

arca candi dwarawati yang telah kembali #ngacir

karin + puput

karin puput lagi

semacam prewed

poto keluarga

sentra oleh-oleh

sentra oleh-oleh

Puas di sentra oleh-oleh, kembali jalan pulang ke homestay. Mengunjungi Watu Kelir dan Tuk Bima Lukar dibatalkan karena hari dah siang. Mereka bersiap pulang, sibuk packing di kamar. Saya memilih nyantai lagi di depan tivi. Pas lagi asik liat cuplikan bola di Tr*nspitu, ada 2 orang mas mas yang pesen makanan yang kemudian ikut nimbrung nonton, dan saya mempersilahkan mereka duduk disamping saya. Terjadilah obrolan yang akhirnya diketahui dia adalah om Muhyad, seorang sepuh OANC #sungkemsesepuh
K = Kukuh, M = Muhyad
K : dari mana om?
M : dari muria?
K : muria kudus om? tripnya om jenggot bukan? #kagets
M : iya, kok tau? #kagetsjuga
K : baca ajakan tripnya on jenggot di lounge fb OANC. berarti situ OANC donk #think
M : iya om, situ OANC?
K : iya om tp saya nyubitol #sedikitmalu. ID nya apa om?
M : muhyad, situ apa?
K : oh situ om… (dulu sering post bareng tanpa pernah bertemu muka) saya garayy #malulagi
M : lah ini yang dicari…!
Akhirnya tertawa bareng #ngakak

Ada 1 lagi temenya, namanya om Dhianto tapi saya lupa ID kaskusnya apa. Mereka cukup friendly dan sepertinya poto prof dengan agama Nikonya @_@. 2 orang sepuh yang nyempil kecer ke Dieng setelah ikut tripnya om Jenggot. Yang juga dikabarkan ikut adalah si soham Undip = Andrehidayatarasuli :p. Bahkan ada cerita  angkot terbalik sebelum mereka naik ke Muria, untung gak ada korban jiwa atau luka serius kata om Muhyad. 2 porsi ayam bakar telah siap dan mereka lanjut ke meja makan.

sepuh OANC : om dianto & om muhyad

Farhan dkk turun dengan packingan mereka masing-masing, bersiap bubar jalan dari Dieng. Mereka (om Muhyad dkk dan Farhan dkk) saya kenalin. Kebetulan om Muhyad juga mau balik Jakarta siang ini juga. Barenglah mereka sebagai temen ke barat, syukur-syukur ada yang cinlok di bus :p. Pukul setengah 3 sore mereka bersama naik micro bus jurusan Wonosobo. Berpamitan bersalaman, Sayonara, babay dan sampai jumpa :kiss

sejenak berpoto bareng sebelum mereka pulang

Dieng  sore yang berkabut

Dengan berlalunya mereka, homestay seketika sepi #berle!. Saya bergegas ke Sembungan, ambil tenda reot dan beberapa urusan lain. Sampai di Sembungan langsung nuju rumah Aan, ndekem di depan tungku kayu, berpegangan segelas teh panas. Ngobrol dengan pak Har, sodara nemu yang sangat baik ini. Sedikit ngrampok cabe bagong buat dirumah. Ambil tenda done… balik ke Dieng lagi disertai gerimis.
Pukul 4 sore, ada sms masuk dari adik saya “mas, paketanya dah nyampai rumah”. Semakin bersemangat saya untuk pulang sore ini. Packing selesai, tak lupa pinjem jaket parasit nya mas Dwi. Kemudian pamit ke semua jajaran  staf dan kru Bu Djono hotel dan resto #berlelagi!. Terimakasih berat buat kerjasama manis ini #kiss.

Pukul 5 sore saya beranjak meninggalkan Dieng, disertai hujan yang dan kabut yang turun, jalanan sepi dan horor. Gak ada 1pun kendaraan dijumpai lewat, baik searah atau berlawanan arah. Masuk hutan kabutnya makin parah, jarak pandang kira-kira 1 meter di depan ban motor. 20km/jam mentok daripada harus nabrak tebing, masuk jurang atau terperosok ke lubang jalan yang terisi air. Suwer baru kali ini ngrasain pulang kaya gini, gimana kalau ada rampok, ada bencoleng, gimana kalau kamera, hp, duit saya dirampas mereka. Gambaran ini sempat ada di pikiran saya mengingat ga bisa memacu kencang motor dijalanan ini #nohoff.  Turun memasuki hutan yang lebih lebat lagi. Tiba-tiba inget omongan 2 bapak-bapak Koramil yang bertemu di Dieng beberapa hari yang lalu, kalau doski pernah bertemu dengan ular hitam pekat dipinggir jalan alas Kluwung yang sebesar meriam perang katanya (kalau meriam belina sih gapapa :genit), dia hanya diam, behenti sejenak mempersilahkan ular besar itu berlalu kembali masuk hutan. Semakin mengikis nyali saya… Untung dari atas terlihat ada 2 truk sayur dan 1 sepeda motor merangkak masuk hutan. Lumayan buat temen jalan menembus gelap dingin dan angkernya alas Kluwung. Lantas memacu motor supaya bisa beriringan dengan 2 truk tersebut. 1 pohon besar di pinggir jalan alas Kluwung yang konon angker saya lewatin di tengah-tengah ke 2 truk yang beriring pelan itu. Dan perjalanan terhoror di periode SBY ini berakhir ketika sampai di perkebunan teh. Turun dikit di warung ibu gorengan yang rupanya jam segini belum tutup (jam hampir isya). Mampir bentaran buat nglepas jas ujan ma minum air putih. Lega… Bergegas lanjutin perjalanan.

Sampai rumah jam setengah 8 malam dengan selamat.  Dan gak sabaran buat bongkar paketan yang dikirim teman dari ibu kota, si ojan. Di bungkusnya tertulis Kebayoran baru, Jaksel (alamat rumah tu soham :p). Perabotan lenong aing dateng juga cyiiinnn… #malus. Bongkar-bongkar paketan yang tebel kertas paketanya berlapis-lapis (kaya buka kado aja rasanya #berbusa). Tenda, SB, matras saya terima dengan segel, nice job dude!. Saya buka tuh tenda di halaman samping rumah (berpikir gubug baru mau diprawanin dimana… #mikir)

Istirahat… besok harus ke Solo buat selamatan 100 hari mbah kakung, kata mbok ku. Zzz baru aja pulang dan besok harus keluar kota lagi -_-

Weekend yang cukup menarik dan patut disyukuri apapun itu. Dari skenario Farhan dkk yang belakangan diketauhui kalau nama aslinya Geilandri (:p) sampai turun dari kayanganya perabotan lenong yang sudah ditunggu 1 bulan lamanya. Dari dapet sunrise Sikunir sampai ketemu om Muhyad di homestay. Dari gak bawa jaket tebel sampai perjalanan horor pulang alas Kluwung. Riweuhnya ati sebelum berangkat hingga bertemu dengan orang-orang baru dan karakter-karakter menarik :)
Dan berulang saya bilang “ilovemonday”

berulang kali si farhan di panggil “ge” sama the gank. dan saya percaya saja ketika diberitau nama panggilanya adalah “toge”, walau diawal sempet curiga dan berpikir gak ada korelasinya. diakhir anto kirim message di Ym, yang dimaksud “ge” itu adalah “geilandri”. ya… togeilandri, dan farhan yang asli sebenarnya gak ada dalam trip tersebut.

Gunung Prau – Djarum Blog Contest

Mengunjungi Taman Bunga Di Tengah Ketinggian (Gunung Prau, 2565 mdpl, 18-19 Juni 2011)
Oleh : Koboi Insap

Taman bunga yang di ceritakan temanku itu ternyata ada, dan aku melihatnya langsung di tengah ketinggian dan dinginnya Gunung Prau.

Tidak terlalu tinggi memang, dan start naik nya pun sudah di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Namun pesona keindahan pemandangan alamnya tidak kalah menarik dengan gunung-gunung di atas 3000 mdpl. Semua terlihat jelas dan begitu mempesona. Aku ingin kembali lagi kesini pada suatu waktu nanti. 

Sabtu, 18 Juni 2011

Sepulangnya dari gunung Sikunir, aku dan Kukuh kembali ke rumah pak Har. Petani asal desa Sembungan, Dieng yang telah menerimaku di rumahnya ketika ku berkunjung ke Dieng ini. Pak Har sudah menyediakan buah Carica untuk bekal ku nanti di gunung Prau. Saatnya carica itu diolah untuk bisa langsung dimakan setibanya kita camping di Prau nanti. Kukuh mengupas carica dan merendamnya dengan air agar getahnya hilang. Setelah itu buah carica yang sudah berwarna kuning itu di belah-belah dan di pisahkan biji dengan dagingnya. Lalu di masukkan ke dalam rebusan air matang dan di tambah gula agar rasanya menjadi lebih manis.

Sementara aku repacking barang-barang yang akan di bawa nanti. Tenda, trangia, sleeping bag sampai gitar tidak lupa aku packing. Bekal berupa mie dan lontong plastik yang sudah di buat bu Har pun tak ketinggalan ku masukkan ke dalam keril 50 liter. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Kata Kukuh, hanya sekitar dua jam trekking untuk bisa sampai ke gunung Prau, jadi tak usah takut kemalaman di jalan.

Kukuh memotong Carica

Carica yang sudah di potong dan siap dimasak 

Carica sudah matang di masak. Buahnya kami taruh di plastik, sementara airnya kami taruh di termos untuk nanti di hangatkan ketika kami ngecamp di puncak Prau. Jam sudah menunjukkan angka setenga tiga ketika aku, Kukuh dan Rudi, putra pak Har mulai berangkat dari rumah. Dengan menggunakan motor, kami berangkat menuju penginapan Bu Jono, tempat kami akan menitipkan motor. Kebetulan trek awal ke gunung Prau ini memang di mulai dari belakang penginapan bu Jono.

Sekitar 15 menit perjalanan menuju pertigaan Dieng. Sesampainya di penginapan bu Jono, kami sudah di tunggu oleh pak Didi, guide lokal Dieng. Berbincang-bincang sedikit dan meminjam sendok yang lupa terbawa, lalu kami menitipkan motor dan langsung berangkat trekking.

Berangkat dai rumah pak Har 

Perjalanan di mulai dari belakang penginapan bu Jono, kemudian melewati ladang-ladang penduduk yang di tanami kentang. Sore itu sangat cerah, namun karena ketinggian jadinya suhu lumayan dingin. Sekitar 15 menit berjalan melewati ladang penduduk, akhirnya kami sampai di pintu hutan. Suhu sudah semakin dingin, Kukuh dan Rudi memakai jaket disini, aku pun mengikutinya karena aku pun sudah merasa kedinginan. Pintu hutan di tandai dengan ujung nya perkebunan, selanjutnya adalah hutan lindung dimana didalam hutan tersebut penduduk dilarang untuk membuka lahan pertanian.

Melewati ladang penduduk

Pintu hutan 

Kami langsung melanjutkan perjalanan. Trek yang dilalui mulai menanjak namun masih agak landai. Terdapat beberapa pohon carica yang kami temui. Kemudian pohon pinus dan ilalang-ilalang tinggi. Trek adalah jalan tanah yang kering karena bukan musim hujan. Tak lama kemudian, pohon-pohon besar mulai jarang dan terdapat lembahan di sisi kanan kami berjalan.

Di sini pemandangan yang terlihat adalah ladang-ladang pertanian yang terdapat di bawah. Kemudian jika melihat ke kanan atas terlihat jelas gunung Prau yang puncaknya adalah datar panjang seperti perahu terbalik. Itulah juga kenapa gunung ini di sebut gunung Prau.

Trek setelah pintu hutan 

Kemudian kami akan melewati tugu perbatasan. Tugu ini adalah perbatasan antara Wonosobo dengan Batang. Jadi mulai titik ini, jalan yang kami injak sudah merupakan daerah Batang. Di tugu ini kami beristirahat sebentar untuk berfoto-foto. Kemudian karena mengejar waktu, kami melanjutkan perjalanan kembali.

Trek sudah mulai menanjak dan kadang berbatu. Sempat melewati hutan pinus yang kecil, kemudian dihadapkan dengan tanjakan yang lumayan terjal di banding dengan jalan-jalan yang kami lalui sebelumnya. Menurut Kukuh, ini adalah jalur teakhir menuju puncak. Jam ketika itu menunjukkan pukul lima sore. Artinya sudah sekitar dua jam kita berjalan. Melihat ke depan atas, tampak tiang pemancar yang merupakan puncak pertama gunung Prau makin jelas terlihat.

Tugu perbatasan Wonosobo-Batang 

Setengah jam berjalan akhirnya kami sampai di puncak pertama gunung Prau. Hari sudah mulai sedikit gelap ketika kami sampai. Melewati pemancar yang berjumlah 4 buah, kami menuju tempat nge camp berupa tanah datar yang di sisinya adalah jurang. Depannya terlihat jalur menuju puncak utama gunung Prau. Jalurnya terlihat jelas melintasi punggungan bukit. Aku mengusulkan untuk mendirikan tenda disini saja dan besok baru ke puncak utama gunung Prau.

Pemandangan sebelum puncak 

Trek sebelum puncak 

Suhu semakin dingin dan kabut sudah datang ketika aku mendirikan tenda. Sementara Rudi dan Kukuh mencari ranting-ranting untuk nantinya dibakar sebagai penghangat badan. Sambil bergetar kedinginan aku mendirikan tenda, akhirnya berdiri juga. Kemudian aku memasak air dan Rudi membuat api sebagai penghangat. Malam sangat cerah, tampak bulan bulat besar muncul di langit. Sementara itu terlihat di puncak utama sepertinya ada juga yang ngecamp mendirikan tenda. Terlihat dari cahaya-cahaya yang berasal dari sana. Tak lama kemudian ada satu rombongan 4 orang yang datang dan mampir sebentar. Mereka melanjutkan perjalanan ke puncak utama untuk ngecamp disana.

Di puncak pertama gunung Prau dengan latar belakang puncak utama 

Malam dilalui dengan menghangatkan carica yang kami bawa tadi sore. Rebusan airnya kami masak kembali, dan carica yang sidah dipisahkan kami rebus didalam air yang sudah wangi dan manis itu. Kukuh memainkan gitarnya ketika aku memasak, dan Rudi asik dengan api unggun kecilnya. Menambah hangatnya malam di tengah dinginnya gunung Prau.

Selain memasak carica, kami pun memasak mie rebus untuk makan malam. Lontong bikinan bu Har tak lupa kami keluarkan juga. Sangat dingin suhu malam itu, sehingga makan kami pun lahap dan sedikit mengusir dinginya malam. Puas bernyanyi, makan, mengobrol dan menghangatkan badan di api unggun yang di buat Rudi, aku pun tidur duluan karena mata sudah mulai mengantuk. Tidur di dalam tenda dengan sleeping bag di tambah jaket dan kaos kaki untuk mengusir dingin ternyata tidak terlalu berpengaruh. Dinginnya Prau tetap saja kurasakan sampai keesokan paginya.

Menghangatkan Carica 

Minggu, 19 Juni 2011

Pagi-pagi sekali aku bangun. Sekitar jam 5 pagi. Dingin masih sangat terasa, namun melihat keluar sudah sedikit terang. Sunrise, pikirku. Aku membangunkan Kukuh dan Rudi. Namun hanya Kukuh yang bangun, Rudi memilih melanjutkan tidurnya. Kami berdua keluar tenda dan mendapatkan pemandangan yang sangat indah. Sunrise di puncak Gunung Prau. Kukuh menyalakan api kembali untuk menghangatkan badan, sementara aku memasak air untuk membuat kopi. Agak lama kemudian Rudi bangun dan bergabung di luar. Dari puncak utama gunung Prau, terlihat rombongan lain pun asik menikmati sunrise.

Cuaca yang sangat cerah tanpa kabut membuat aku dapat dengan jelas melihat pemandangan indah dari sini. Di sisi kanan tendaku terlihat perkampungan jauh di bawah. Kemudian di depan tampak punggungan menuju puncak utama gunung Prau. Kemudian bukit teletubbies, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah savana luas membentuk bukit-bukit dengan pohon-pohon yang sangat jarang. Lebih jauh mata memandang, tampak jelas gunung Sindoro serta gunung Sumbing di belakangnya. Tak sabar aku untuk menuju puncak utama Prau.

Puncak utama gunung Prau dengan jalur punggungan

Di puncak gunung Prau

Matahari sudah mengeluarkan panasnya. Aku langsung menjemur barang-barang yang lembab karena dingin, serta membongkar tenda untuk kemudian di jemur. Kukuh asik dengan gitarnya. Rudi memfoto-foto pemandangan sekitar. Kemudian kami memasak kembali carica agar tubuh lebih segar.

Tak lupa membuat kopi kembali. Sekitar jam sembilan. Aku dan Kukuh berjalan menuju puncak utama Prau, sementara Rudi tidak ikut. Dia memilih tetap disini sambil membereskan barang-barang. Menuju puncak utama Prau tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 10-15 menit berjalan melewati punggungan yang selalu kulihat dari kemarin. Vegetasi adalah berupa ilalang kecil dan tanaman-tanaman pendek khas ketinggian. Aku memakai celana pendek yang membuat kakiku sering terkena daun-daun yang sedikit tajam, banyak juga luka-luka kecil di kakiku. Jalur menuju puncak utama Prau awalnya menurun, kemudaian landai dan hampir tiba di puncak agak menanjak.

Aktifitas pagi hari 

Keindahan di puncak Prau sulit di ceritakan lewat kata-kata. Kalian harus mencoba untuk kesini jika ingin lebih tahu keindahannya. Dari puncak Prau, gunung Sindoro dan Sumbing terlihat sangat jelas sekali. Kemudian di belakang ku terlihat jelas namun sangat jauh gunung Slamet, yang beberapa hari sebelumnya ku kunjungi. Sementara agak jauh di depan sebelah kiri mataku memandang, tampak jelas pula gunung merbabu, dan agak samar terlihat gunung Merapi di belakangnya. Melihat ke bawah, tampak Dieng dari ketinggian, dikelilingi pegunungan-pegunungan kecil seperti gunung Pakuwaja, gunung Sikunir dan pegununngan lainnya di Dieng. Tampak jelas pula telaga Warna yang terlihat warna biru nya dari atas sini.

Dieng dari puncak Prau, disebelah kanan adalah telaga warna

Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dibelakangnya terlihat jelas 

Yang paling menakjubkan adalah hamparan savana yang terlihat sangat dekat di depanku. Itulah bukit Teletubbies. Kemudian hamparan padang bunga di depanku. Bung-bunga kecil yang tumbuh serumpun dan sangat banyak, dengan warna bunga yang berlainan membuat carha nya suasana. Tampak juga edelweiss, bunga abadi khas ketinggian yang terlihat namun hanya beberapa batang saja disini. Puas kami berfoto-foto disini sampai akhirnya aku kepanasan karena matahari sudah mulai naik.

Terlihat di jam sudah pukul sebelas siang. Akhirnya kami kembali ke pemancar. Rudi sudah menunggu dan barang-barang sudah beres di packing kembali. Akhirnya kami pulang kembali ke bawah karena hari sudah siang dan aku harus menuju Jogja hari ini. Perjalanan pulang masih ditemani dingin sehingga rasa capai tidak terlalu terasa. Satu jam setengah kami turun dan akhirnya tiba kembali di penginapan bu Jono. Tempat kami menitipkan motor kemarin. Kukuh dan Rudi pulang, sementara aku melanjutkan perjalanan menuju Jogja.

Bersama pak Didi di samping penginapan Bu Jono 

Benar-benar gunung yang sangat mempesona. Terkagum-kagum aku dibuatnya karena keindahan alam yang terlihat. Suatu waktu nanti, aku ingin kembali lagi kesini. Menikmati carica di tengah dinginnya gunung Prau, sambil melihat padang bunga dan bukit teletubbies. Semoga…

Bukit teletubbies ketika kabut datang

Padang bunga dengan latar bukit teletubbies

Padang bunga gunung Prau 

Kukuh di padang bunga

Edelweiss gunung Prau

Disadur dari : (klik icon)

FU

gutbye si merah jantan perkasa
terimakasih atas semua kerjasamanya
telah menemani kurang 12 bulan lamanya
mengantar ke tempat indah
membawaku ke tempat dingin
menemaniku di jalanan berkabut
menembus angin, basahnya hujan
dan mengexplore dieng selama setahun ini

tanpa kamu aku gak bisa memberi tahu ke orang kalo dieng itu indah
gak bisa kasih tau kalo ada taman bunga di atas gunung prau
dan gak bisa punya teman sebanyak teman aku sekarang

masih ingat, sewaktu jatuh mengisir jalan berbatu
yang rusak parah antara pekasiran dan telaga dringo
lampu depan pecah dan bodi lecet.
jatuh terpleset lumut di tikungan perkebunan teh ngliyer
lampu depan semakin ancur
plat nomer bengkong dan handle rem patah
dan beberapa kejadian menarik lain yang terlewati

semoga bahagia dirawat, rajin dimandikan pemilik barumu
semoga bahagia melewati jalanan yang seharusnya,
jalan yang lurus mulus, raja jalanan datar…
gak seperti saat bersamaku
melewati jalan berbatu rusak parah antara kembanglangit – batur
tanjakan terjal tengah hutan, sungai dadakan antara sikunang – sembungan
semoga kamu gak nangis lagi dengan empu barumu
selamat tinggal