Bushcraft Cooking – Chicken Blackpepper Spice Ricebowl

Bushcraft Cooking – Chicken Blackpepper Spice Rice Bowl
Instagram: @outdoorcooking.id
Because Cooking Is The Art Of Outdoor’s Spent Time

#outdoorcooking #bushcraftcooking #cookinginthewild #outdoorcookingindonesia #bushcraftindonesia #campingcooking #campcooking #bushcraftcooking #bushcraftfood #bushcraftpan #bushcraftlife #bushcraftfire #bushcraft #wildcooking #wildcamping #staywild #intothewild #bushcraftshelter #bushcraftcamp

Kondisi Terupdate Jalan Alternatif Bandar – Batur Oktober 2017

1. Alas Kluwung sampai Desa Sikesut

2. Desa Sikesut sampai Tugu Perbatasan Batang – Banjarnegara

Gunung Bisma

 

Gunung Bisma
Gunung Bisma – 2365 Mdpl

Mencoba untuk selalu konsisten dan lurus pada satu tema itu ternyata tidak gampang. Hampir 3 tahun blog terbengkalai, tanpa tulisan terbaru, tanpa balas komen, hanya sesekali ngecek traffic. Posting terakhirpun tertanggal di November 2014 –“

=== Skip ===

Cuaca cerah menunjukan pukul 3 sore, beserta semua peking yang sudah siap kami bertiga meluncur dari Dieng menuju desa Sikunang. Sikunang adalah desa terakhir pendakian gunung Bisma. Sesampai di desa Sikunang kami menitipkan motor dirumah warga, karena disini memang belum ada basecamp resmi pendakian dan otomatispun tiket registrasi pendakian juga tidak ada.

Setelah semua beres, kami memulai trekking pukul setengah 4 sore. Trekk awal adalah membelah desa Sikunang, dilanjut melewati perkebunan sayur warga. Lumayan memeras keringat karena matahari masih terlihat di langit barat dipadu dengan jalanan tanjakan berupa batuan setelah desa. Setelah sampai pada satu bukit diatas desa, jalanan tanah basah tampak landai disela-sela tanaman kentang dan kobis serta pohon cemara angin.

Didepan terdapat 3 persimpangan dan kami mengambil jalan lurus. Gak jauh dari situ harusnya ada jalan kecil ke kanan melewati kebun warga tetapi kali ini semua akses masuk kebun tersebut ditutup dan berpagar besi. Dikanan kiripun sudah tidak ada aktivitas warga/petani jadi tidak bisa menanyakan mengapa jalur ini ditutup. Sempat bingung karena jalur ini adalah jalur yang biasa dilewati. Lalu diputuskan kembali turun ke pertigaan awal sembari melihat kemungkinan menempuh jalur lain.

… continued

 

Hujan Di Akhir November Antara Jakarta Dan Bandung

Aku tak selalu memintamu ada bersama di dalam kereta ketika aku pulang ke Bandung. Tak harus menemani rintik hujan dibalik jendela. Berjejeran di kereta yang hampir setiap jam ada dari Gambir menuju Bandung. Kamu cukup menunggu dirumah dengan segelas minuman hangat, handuk kecil dan senyum manismu.

Dan seperti biasanya, tiap menjelang akhir pekan datang aku ingin segera pulang. Setelah selesai jam kantor di hari Jumat, ketika tidak terlalu capek dan meribetkan, aku pasti ingin segera menemuimu, istriku. Kurapikan beberapa baju ganti, kusiapkan satu stel seragam kantor untuk esok senin, kuacuhan beberapa ajakan teman untuk bermalam minggu di Jakarta, kubiarkan semua tawaran nenda di alam tanpa ada aku hadir disitu. Jakarta sudah sangat cadas, inginku kau belai marahku dengan kelembutan.
Hujan dari Gambir, membawa suasana yang layak dipertahankan. Duduk di kursi kereta bersama orang orang baru kulihat, orang orang dengan bermacam urusan. 3 jam yg akan mempersingkat rindu, dan serentetan kesejukan lain yg kusuka ketika melewati timur Purwakarta, Cikalong, Padalarang… rintik diluar sangat harum, beribu tahun tak akan bosan menemuinya.

Bandungpun tak jauh beda, disini pasti lebih curah. Cucuran yg pasti membuat basah ketika cuma berjalan 5meter. Tapi aku tak peduli, semua akan digantikan oleh peranmu dirumah. Sebenarnya bisa saja memintamu menjemputku dengan mobil tua yg ada di garasi, tp tidaklah… masih cukup banyak tukang ojek atau angkot yang tekun mencari rejeki sesampainya aku tiba di Bandung.
Sesampai Buah Batu, tak butuh banyak menit untuk berjalan kaki. Dengan sedikit basah dan butiran butiran hujan dirambut aku sampai rumah. Disambut oleh perutmu yg tampak membesar, kehamilanmu di 3 bulan. Handuk kecil bermotif yinyang, teh hangat dalam cangkir bertulis “The Beatles” kesukaanku. Ah kamu cantik sekali, senyumu tak berubah dari pertama aku lihat. Cium dan pelukan yg meluruhkan segala sukar. Benar benar dengan beribu doa aku mendapatkanmu, aku takluk dengan kekuranganmu, apalagi tidak bersyukur akan kelebihanmu, itu tidak pernah.

Selalu ingin, Jumat malam yg selalu ada di rumah, atau sabtu pagi ketika bangun tidur sudah berada disampingmu.

Andaipun itu jadi masalah, biar itu urusan kami. Dan pastinya telah kami selesaikan sebelum kami berada di tahap ini. Kami sadar kami berbeda, namun tak sanggup untuk berjeda. Kesalahan di hari lalu dari masing-masing kami sebelum bertemu, telah kami ubah menjadi obrolan hangat dimanapun kami duduk. Bercanda, bersandar, hingga mencubit dan saling mengacak-acak rambut. Lantas menjadikan pelukan itu terapi, tak saling berucap namun menenangkan. Kami tidak pernah merasa sehebat ini, sebelum berjanji untuk tidak saling meninggalkan, walaupun pasti akan ada kesalahan-kesalahan di depan sana. Kalian tak perlu risau, cukup mendengar jika diantara kami ingin mengabarkan

to be continued…

Gunung Culo & Situs Liyangan

Pagi yang sepoi mendung, menerus melemahkan semangat yang sore sebelumnya sudah diguyur hujan. Berasa bangun sudah berada di tumpukan busa dan sofa. Melengok dari balkon tingkat 2 rumah yang belum lama di akrabi. Membual ke barat, hutan-hutan padat yang di baliknya bermimikri menjadi lahan-lahan subur penghancur, ada di penghujung pupil, merapat bersama debu yang sudah berubah wujud di tepian mata. Cahaya nya samar-samar, begitu mengenal tetapi tidak untuk menertawakan nya hari ini. Cantik nya cukup membuat bosan tak lebih dari seperempat detik.

Sekira Sepenggalan, setelah membungkus sangu dari Tlangu. Menuju barak hasil dari tulang-tulang dinosaurus yang telah berfermentasi menjadi atom-atom yang diserap kuda kuda dari tanah para Romusha. Ada rekan yang saya kenal tapi tak pernah menjumpai dan tak bisa mengikut untuk hari ini, Damarjati (sebuah desa yang mengingatkan pada seorang filsuf, Guru Besar Filsafat UGM, Damardjati Supadjar)


Dimana alas buat bermalam, tak menentukan akan berada pada fokus yang mana, melewati rangkaian kontur dan sistem yang seperti apa. Sampai sore mengerucut, bentuknya meruncing persis cula badak jika dilihat dari sisi utara. Titik bahasan yang kudu segera di diskusikan. Bernegoisasi dengan para user zat zat pemacu lelahnya tanah setempat tentang apa yang bisa mereka perbuat untuk kami bisa sampai atas. Hari semakin gelap… kabut-kabut tipis cantik mulai naik, embun yg menyentuh kulit perlahan tiris. Dikira serta merta kami adalah penggadai usia, penggadai kumpulan bilangan recehan dengan tuah-tuah dunia yang ditinggalkan manusia sebelumnya.



Menjumpai maghrib menjumpai puncak. Jangan harap pohon-pohon besar yang bisa tersenyum seperti pada film “Bridge of Terabithia”, cuma ilalang pun disini hitam, terbakar di sela kemarau kemarin. Hanya rumput-rumput yang menggeliat, menunjukan sel sel Tuhan masih hidup dibawah tanah meskipun tubuh mereka dihajar api. Cukup menunggu hujan, mereka tumbuh, karena ini benar-benar November!


Pagi hari, sang kakak yang tercatat samar memuntahkan solfatara di rentan tahun 1800-an

Sepenggalan berikutnya, menuruni sebuah peradaban kuno yang dihajar letusan beberapa abad silam, terdapat 3 lingga, terkubur material dan konon seluas 6Ha. Kayu apa yang dipakai untuk mendirikan bangunan? Bagaimana cara memotong batuan? Jenis beras apa yang gabahnya telah memfosil? Dimana ujung jalan berbatu buatan nenek moyang? Ilmu, adat dan kearifan lokal yang seharusnya tetap kita sandang sampai sekarang



 

Sabdo Palon . Salam _/\_