Mengunjungi Taman Bunga Di Tengah Ketinggian (Gunung Prau, 2565 mdpl, 18-19 Juni 2011)
Oleh : Koboi Insap
Taman bunga yang di ceritakan temanku itu ternyata ada, dan aku melihatnya langsung di tengah ketinggian dan dinginnya Gunung Prau.
Tidak terlalu tinggi memang, dan start naik nya pun sudah di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Namun pesona keindahan pemandangan alamnya tidak kalah menarik dengan gunung-gunung di atas 3000 mdpl. Semua terlihat jelas dan begitu mempesona. Aku ingin kembali lagi kesini pada suatu waktu nanti.
Sabtu, 18 Juni 2011
Sepulangnya dari gunung Sikunir, aku dan Kukuh kembali ke rumah pak Har. Petani asal desa Sembungan, Dieng yang telah menerimaku di rumahnya ketika ku berkunjung ke Dieng ini. Pak Har sudah menyediakan buah Carica untuk bekal ku nanti di gunung Prau. Saatnya carica itu diolah untuk bisa langsung dimakan setibanya kita camping di Prau nanti. Kukuh mengupas carica dan merendamnya dengan air agar getahnya hilang. Setelah itu buah carica yang sudah berwarna kuning itu di belah-belah dan di pisahkan biji dengan dagingnya. Lalu di masukkan ke dalam rebusan air matang dan di tambah gula agar rasanya menjadi lebih manis.
Sementara aku repacking barang-barang yang akan di bawa nanti. Tenda, trangia, sleeping bag sampai gitar tidak lupa aku packing. Bekal berupa mie dan lontong plastik yang sudah di buat bu Har pun tak ketinggalan ku masukkan ke dalam keril 50 liter. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Kata Kukuh, hanya sekitar dua jam trekking untuk bisa sampai ke gunung Prau, jadi tak usah takut kemalaman di jalan.
Kukuh memotong Carica
Carica yang sudah di potong dan siap dimasak
Carica sudah matang di masak. Buahnya kami taruh di plastik, sementara airnya kami taruh di termos untuk nanti di hangatkan ketika kami ngecamp di puncak Prau. Jam sudah menunjukkan angka setenga tiga ketika aku, Kukuh dan Rudi, putra pak Har mulai berangkat dari rumah. Dengan menggunakan motor, kami berangkat menuju penginapan Bu Jono, tempat kami akan menitipkan motor. Kebetulan trek awal ke gunung Prau ini memang di mulai dari belakang penginapan bu Jono.
Sekitar 15 menit perjalanan menuju pertigaan Dieng. Sesampainya di penginapan bu Jono, kami sudah di tunggu oleh pak Didi, guide lokal Dieng. Berbincang-bincang sedikit dan meminjam sendok yang lupa terbawa, lalu kami menitipkan motor dan langsung berangkat trekking.
Berangkat dai rumah pak Har
Perjalanan di mulai dari belakang penginapan bu Jono, kemudian melewati ladang-ladang penduduk yang di tanami kentang. Sore itu sangat cerah, namun karena ketinggian jadinya suhu lumayan dingin. Sekitar 15 menit berjalan melewati ladang penduduk, akhirnya kami sampai di pintu hutan. Suhu sudah semakin dingin, Kukuh dan Rudi memakai jaket disini, aku pun mengikutinya karena aku pun sudah merasa kedinginan. Pintu hutan di tandai dengan ujung nya perkebunan, selanjutnya adalah hutan lindung dimana didalam hutan tersebut penduduk dilarang untuk membuka lahan pertanian.
Melewati ladang penduduk
Pintu hutan
Kami langsung melanjutkan perjalanan. Trek yang dilalui mulai menanjak namun masih agak landai. Terdapat beberapa pohon carica yang kami temui. Kemudian pohon pinus dan ilalang-ilalang tinggi. Trek adalah jalan tanah yang kering karena bukan musim hujan. Tak lama kemudian, pohon-pohon besar mulai jarang dan terdapat lembahan di sisi kanan kami berjalan.
Di sini pemandangan yang terlihat adalah ladang-ladang pertanian yang terdapat di bawah. Kemudian jika melihat ke kanan atas terlihat jelas gunung Prau yang puncaknya adalah datar panjang seperti perahu terbalik. Itulah juga kenapa gunung ini di sebut gunung Prau.
Trek setelah pintu hutan
Kemudian kami akan melewati tugu perbatasan. Tugu ini adalah perbatasan antara Wonosobo dengan Batang. Jadi mulai titik ini, jalan yang kami injak sudah merupakan daerah Batang. Di tugu ini kami beristirahat sebentar untuk berfoto-foto. Kemudian karena mengejar waktu, kami melanjutkan perjalanan kembali.
Trek sudah mulai menanjak dan kadang berbatu. Sempat melewati hutan pinus yang kecil, kemudian dihadapkan dengan tanjakan yang lumayan terjal di banding dengan jalan-jalan yang kami lalui sebelumnya. Menurut Kukuh, ini adalah jalur teakhir menuju puncak. Jam ketika itu menunjukkan pukul lima sore. Artinya sudah sekitar dua jam kita berjalan. Melihat ke depan atas, tampak tiang pemancar yang merupakan puncak pertama gunung Prau makin jelas terlihat.
Tugu perbatasan Wonosobo-Batang
Setengah jam berjalan akhirnya kami sampai di puncak pertama gunung Prau. Hari sudah mulai sedikit gelap ketika kami sampai. Melewati pemancar yang berjumlah 4 buah, kami menuju tempat nge camp berupa tanah datar yang di sisinya adalah jurang. Depannya terlihat jalur menuju puncak utama gunung Prau. Jalurnya terlihat jelas melintasi punggungan bukit. Aku mengusulkan untuk mendirikan tenda disini saja dan besok baru ke puncak utama gunung Prau.
Pemandangan sebelum puncak
Trek sebelum puncak
Suhu semakin dingin dan kabut sudah datang ketika aku mendirikan tenda. Sementara Rudi dan Kukuh mencari ranting-ranting untuk nantinya dibakar sebagai penghangat badan. Sambil bergetar kedinginan aku mendirikan tenda, akhirnya berdiri juga. Kemudian aku memasak air dan Rudi membuat api sebagai penghangat. Malam sangat cerah, tampak bulan bulat besar muncul di langit. Sementara itu terlihat di puncak utama sepertinya ada juga yang ngecamp mendirikan tenda. Terlihat dari cahaya-cahaya yang berasal dari sana. Tak lama kemudian ada satu rombongan 4 orang yang datang dan mampir sebentar. Mereka melanjutkan perjalanan ke puncak utama untuk ngecamp disana.
Di puncak pertama gunung Prau dengan latar belakang puncak utama
Malam dilalui dengan menghangatkan carica yang kami bawa tadi sore. Rebusan airnya kami masak kembali, dan carica yang sidah dipisahkan kami rebus didalam air yang sudah wangi dan manis itu. Kukuh memainkan gitarnya ketika aku memasak, dan Rudi asik dengan api unggun kecilnya. Menambah hangatnya malam di tengah dinginnya gunung Prau.
Selain memasak carica, kami pun memasak mie rebus untuk makan malam. Lontong bikinan bu Har tak lupa kami keluarkan juga. Sangat dingin suhu malam itu, sehingga makan kami pun lahap dan sedikit mengusir dinginya malam. Puas bernyanyi, makan, mengobrol dan menghangatkan badan di api unggun yang di buat Rudi, aku pun tidur duluan karena mata sudah mulai mengantuk. Tidur di dalam tenda dengan sleeping bag di tambah jaket dan kaos kaki untuk mengusir dingin ternyata tidak terlalu berpengaruh. Dinginnya Prau tetap saja kurasakan sampai keesokan paginya.
Menghangatkan Carica
Minggu, 19 Juni 2011
Pagi-pagi sekali aku bangun. Sekitar jam 5 pagi. Dingin masih sangat terasa, namun melihat keluar sudah sedikit terang. Sunrise, pikirku. Aku membangunkan Kukuh dan Rudi. Namun hanya Kukuh yang bangun, Rudi memilih melanjutkan tidurnya. Kami berdua keluar tenda dan mendapatkan pemandangan yang sangat indah. Sunrise di puncak Gunung Prau. Kukuh menyalakan api kembali untuk menghangatkan badan, sementara aku memasak air untuk membuat kopi. Agak lama kemudian Rudi bangun dan bergabung di luar. Dari puncak utama gunung Prau, terlihat rombongan lain pun asik menikmati sunrise.
Cuaca yang sangat cerah tanpa kabut membuat aku dapat dengan jelas melihat pemandangan indah dari sini. Di sisi kanan tendaku terlihat perkampungan jauh di bawah. Kemudian di depan tampak punggungan menuju puncak utama gunung Prau. Kemudian bukit teletubbies, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah savana luas membentuk bukit-bukit dengan pohon-pohon yang sangat jarang. Lebih jauh mata memandang, tampak jelas gunung Sindoro serta gunung Sumbing di belakangnya. Tak sabar aku untuk menuju puncak utama Prau.
Puncak utama gunung Prau dengan jalur punggungan
Di puncak gunung Prau
Matahari sudah mengeluarkan panasnya. Aku langsung menjemur barang-barang yang lembab karena dingin, serta membongkar tenda untuk kemudian di jemur. Kukuh asik dengan gitarnya. Rudi memfoto-foto pemandangan sekitar. Kemudian kami memasak kembali carica agar tubuh lebih segar.
Tak lupa membuat kopi kembali. Sekitar jam sembilan. Aku dan Kukuh berjalan menuju puncak utama Prau, sementara Rudi tidak ikut. Dia memilih tetap disini sambil membereskan barang-barang. Menuju puncak utama Prau tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 10-15 menit berjalan melewati punggungan yang selalu kulihat dari kemarin. Vegetasi adalah berupa ilalang kecil dan tanaman-tanaman pendek khas ketinggian. Aku memakai celana pendek yang membuat kakiku sering terkena daun-daun yang sedikit tajam, banyak juga luka-luka kecil di kakiku. Jalur menuju puncak utama Prau awalnya menurun, kemudaian landai dan hampir tiba di puncak agak menanjak.
Aktifitas pagi hari
Keindahan di puncak Prau sulit di ceritakan lewat kata-kata. Kalian harus mencoba untuk kesini jika ingin lebih tahu keindahannya. Dari puncak Prau, gunung Sindoro dan Sumbing terlihat sangat jelas sekali. Kemudian di belakang ku terlihat jelas namun sangat jauh gunung Slamet, yang beberapa hari sebelumnya ku kunjungi. Sementara agak jauh di depan sebelah kiri mataku memandang, tampak jelas pula gunung merbabu, dan agak samar terlihat gunung Merapi di belakangnya. Melihat ke bawah, tampak Dieng dari ketinggian, dikelilingi pegunungan-pegunungan kecil seperti gunung Pakuwaja, gunung Sikunir dan pegununngan lainnya di Dieng. Tampak jelas pula telaga Warna yang terlihat warna biru nya dari atas sini.
Dieng dari puncak Prau, disebelah kanan adalah telaga warna
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dibelakangnya terlihat jelas
Yang paling menakjubkan adalah hamparan savana yang terlihat sangat dekat di depanku. Itulah bukit Teletubbies. Kemudian hamparan padang bunga di depanku. Bung-bunga kecil yang tumbuh serumpun dan sangat banyak, dengan warna bunga yang berlainan membuat carha nya suasana. Tampak juga edelweiss, bunga abadi khas ketinggian yang terlihat namun hanya beberapa batang saja disini. Puas kami berfoto-foto disini sampai akhirnya aku kepanasan karena matahari sudah mulai naik.
Terlihat di jam sudah pukul sebelas siang. Akhirnya kami kembali ke pemancar. Rudi sudah menunggu dan barang-barang sudah beres di packing kembali. Akhirnya kami pulang kembali ke bawah karena hari sudah siang dan aku harus menuju Jogja hari ini. Perjalanan pulang masih ditemani dingin sehingga rasa capai tidak terlalu terasa. Satu jam setengah kami turun dan akhirnya tiba kembali di penginapan bu Jono. Tempat kami menitipkan motor kemarin. Kukuh dan Rudi pulang, sementara aku melanjutkan perjalanan menuju Jogja.
Bersama pak Didi di samping penginapan Bu Jono
Benar-benar gunung yang sangat mempesona. Terkagum-kagum aku dibuatnya karena keindahan alam yang terlihat. Suatu waktu nanti, aku ingin kembali lagi kesini. Menikmati carica di tengah dinginnya gunung Prau, sambil melihat padang bunga dan bukit teletubbies. Semoga…
Bukit teletubbies ketika kabut datang
Padang bunga dengan latar bukit teletubbies
Padang bunga gunung Prau
Kukuh di padang bunga
Edelweiss gunung Prau
Disadur dari : (klik icon)