Gunung Prau – Tim Sergap Indonesia

Bertepatan dengan DCF (Dieng Culture Festival) 2013

Roiz yg sudah jauh-jauh hari mengabarkan hendak ke Dieng,  DCF an sekaligus tilik Gunung Prau. Tetapi jauh-jauh hari juga saya bilang kalau gak bisa nemenin atau nganterin muter-muter edisi mbalayang kali ini. Beberapa rombongan kudu dilayani di DCF tahun ini.
*Sedikit cerita tentang Roiz, kita kenal sekitar April 2013. Sore Dia dateng dari Temanggung dan Cojack (temen Traveller Kaskus) datang dari Jakarta. Mereka ketemuan di Dieng, sebelum akhirnya kita ber3 ketemu di Dieng dalam keadaan hujan. Ngobrol-ngobrol dan ngopi di Bujono (waktu masih ada mas Dwi).  Suasana sore yg dingin tapi hangat, beberapa macam gorengan dan bergelas-gelas arak, eh kopi. Mbahas dari yg namanya A sampai Z, lor kidul wetan kulon, ngisor nduwur kiwo tengen ngarep mburi. Suasana cair kaya dah kenal lama.
Seperti rencana sebelumnya yg diutarakan Cojack, malamnya berangkat ke Sikunir, saya ngajakin Eko, temen segala suasana dari Dieng. Berangkatlah kami ber4 dalam keadaan gerimis. 10 menit sesampai di desa Sembungan gerimis makin deras alias berubah jadi hujan. Niat nenda di puncak Sikunir pun surut, kondisi suram. Suer enakan tidur di homestay dengan kasur dan selimut tebel nya, ada kopi teh panas dan cemilan suguhan homestay, racun saya bisikan selanjutnya. Tanpa lama mereka mengiyakan. Kami ber4 tidur di homestay salah 1 rekan di Sembungan. Dasar cangkem gojek ketemu cangkem nglayap, ngecret panjang lebar finish jam 2 pagi. Sekamar ber4 no problem dah, biar rapet anget.
Paginya cuaca masih sama, mereka ber3 nekat naik Sikunir walau sudah jam 7 pagi (berangkat nyunrise apa berangkat ke ladang pak #ngakaks). Nglanjutin narik selimut itu dah ide paling bagus, bosen mah Sikunir #cool. Sampai Dzuhur kami masih tertahan di Sembungan, karena memang enak bener kabut disini buat gegoleran di kasur.
Siang sekitar jam 1 an, mereka (Roiz & Cojack) pada turun ke Wonosobo, suasana langit juga tidak berubah dari kemarin, syuram bagi kami tetapi tidak bagi para petani kentang karena tanaman kentangnya sudah disiram alam. So… kadang yg kita keluhkan itu justru sangat bermanfaat bagi orang lain, entah sekitar kita atau belahan bumi lain *sok a wise*
Nah ini… Selama 2 hari 1 malam obrolan kita, Roiz berkali nyentil “ra meh jaluk tanda tangan ku po?” (gak mau pada minta tanda tanganku apa?). Loh apa maksud bocah ini… dalam ati tanya gitu. Dia siapa, bisa apa, apakah salah 1 orang yg berkompeten di salah 1 bidang dan berpengaruh? Muka dan gaya nya emang nyleneh, omonganya banyak gak jelas nya. Asu tenan pokoke cah 1 iki! hahaha
Sampai akhirnya saya tau, setelah meliat tayangan dia beserta komunitasnya, BaliBackpacker di program Kick Andy Metro Tv (baru beberapa minggu yll, video silakan searcing di youtube). Dia menjabat sebagai Dalang utama di band Ethno Experimental “Tembang Pribumi” (Website : tembangpribumi.com – Twitter : @tembangpribumi) . Selanjutnya ubek-ubek sendiri ya alamat tersebut :D* (OOT nya udahan ya, back to topic)

Semalam sebelum DCF, Roiz sms bahwa dia sudah berada di Gardu Pandang Tieng bareng Pak Dadi Wiryawan (Tim SERGAP Indonesia) dari Jogja, dengan 2 motor. Because salah 1 motornya dikhawatirkan gak kuat nanjak, maka saya turun menjemput boncengan sama Eko ke tkp. Pokoknya ceritanya kita tau-tau sampe Dieng aja dan istirahat di rumah Eko. Ramailah di rumah, Roiz, Pak Dadi dan juga Mulkan… temen titipan dr temen Backpacker Medan dan juga member Traveller Kaskus. Ngeteh ngemil gojek, tepatnya gojek kere kalau sama Roiz.

Pagi hari Dieng udah menggeliat, ramai orang dan kendaraan pada wara wiri. Saya sudah harus ngurus beberapa rombongan yang ketemu di Dieng hari ini. Dari urusan transport, ada yg lewat jalur Pantura Pekalongan – Bandar – Gerlang – Batur – Dieng  karena waktu itu memang jalur Wonosobo – Dieng ditutup karena perbaikan jembatan Tieng, sampai ngurusin tiket beserta ID card DCF, yg kelihatanya sepele tapi vital.
Siang yang sibuk, menyempatkan lah saya mengantar si Dalang edan dan Pak Dadi ke basecamp Gunung Prau di desa Patak Banteng. Maaf sekali saya tidak bisa ikut naik ke atas karena hal hal sudah menjadi kodrat saya, akhir pembicaraan sebelum mereka trekking naik dan saya balik ke Dieng.

Skip skip…
Sampai akhirnya mereka turun dari Gunung Prau keesokan harinya (hari pertama DCF) dan menjumpai foto foto dari kamera Pak Dadi seperti berikut ini ~

 


Misi mereka mengibarkan si Koneng bendera SERGAP di Gunung Prau terlaksana \m/

Hari ke 2 tamu-tamu DCF mayoritas sudah berada di Dieng hari ini. Kami mencar, Mulkan juga sudah gabung ke rombongan nya yg ngumpul di Dieng. Ketoke pagi hari nya Pak Dadi & Roiz jalan-jalan ke Sikunir, kalau dilihat jepretan beliau seperti berikut :

 


Di hari ke 2 ini, sore harinya Roiz pulang duluan. Katanya sih ada urusan yg sangat urgent di Jogja . Tapi udah ketebak sih urusan dia apaan :))) . Disertai urusan saya yang sudah selesai, Pak Dadi nambah nginep semalam di Dieng, dan baru ke esokan hari nya dia bertolak ke Jogja :D

Credit :
Dadi Wiryawan , Fotografer TIM SERGAP INDONESIA
Terimakasih atas kunjungan dan jepretannya yg luar biasa _/\_

Gunung Prau – Awesome Juli

Ceritanya simple…

Kami ber 3 berangkat nanjak dari Dieng jam 2 siang, jalur mainstream.
Tanpa dokumentasi karena langsung tancap gas, ngibrit bagai anjing kena timpuk,
tak lupa ditambah ngos – ngosan tapi gak pake julurun lidah loh yah #Skip

Sampai pada hutan tower sekitar jam 4 sore dan langsung turun ke punggungan gunung menuju savana, dimana kanan jalan adalah jurang dan kalau jatuh saja bisa nyampe Dieng lagi. Bagai turun step karena nginjek lantai ular di permainan ular tangga #End

#1 – Ini poto di salah 1 puncak Prau, jepretan pertama dalam jalan sehat sore ini

#2 – Duduk – duduk di savana, nikmatin angin sepoi – sepoi

#3 – Hamparan bunga daisy (sepertinya sih spesies daisy endemik prau)

#4 – Bukit cinta (salah satu bukit di puncak prau )

#5 – Dobel S, “awesome”. Ini keesokan paginya

#6 – Landscaper, nunggu sunrise

#7 – Tinggal kasih jubah dah mirip “scarecrow”

#8 – Looks warm , kanan bawah “Taman Sireang” camp area

#9 – Kontur puncak gunung yang unik. Adakah ditempat lain? beri tahu saya

#10 – Before sunrise, Bukit Singgeni mendadak tertutup kabut

#11 – Three maskenthir, tugu perbatasan (ki – ka : danar – me – eko)

#12 – Trekking pulang

#13 – Telaga wurung berkabut, penuh dengan butiran butiran embun

#14 – Tiba di bukit pertama njepret, dan itu buah Cantigi

#15 – Romansa di ketinggian

#16 – Landscape Hunter

#17 – Perjalanan turun, ketemu ibu muda yang lagi ntraining putra putrinya

#18 – Pemuda tanggung di penghujung jalan (depan gunung Pangonan)

Sampai jumpa di Prau lagi :)

Gunung Prau – Djarum Blog Contest

Mengunjungi Taman Bunga Di Tengah Ketinggian (Gunung Prau, 2565 mdpl, 18-19 Juni 2011)
Oleh : Koboi Insap

Taman bunga yang di ceritakan temanku itu ternyata ada, dan aku melihatnya langsung di tengah ketinggian dan dinginnya Gunung Prau.

Tidak terlalu tinggi memang, dan start naik nya pun sudah di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Namun pesona keindahan pemandangan alamnya tidak kalah menarik dengan gunung-gunung di atas 3000 mdpl. Semua terlihat jelas dan begitu mempesona. Aku ingin kembali lagi kesini pada suatu waktu nanti. 

Sabtu, 18 Juni 2011

Sepulangnya dari gunung Sikunir, aku dan Kukuh kembali ke rumah pak Har. Petani asal desa Sembungan, Dieng yang telah menerimaku di rumahnya ketika ku berkunjung ke Dieng ini. Pak Har sudah menyediakan buah Carica untuk bekal ku nanti di gunung Prau. Saatnya carica itu diolah untuk bisa langsung dimakan setibanya kita camping di Prau nanti. Kukuh mengupas carica dan merendamnya dengan air agar getahnya hilang. Setelah itu buah carica yang sudah berwarna kuning itu di belah-belah dan di pisahkan biji dengan dagingnya. Lalu di masukkan ke dalam rebusan air matang dan di tambah gula agar rasanya menjadi lebih manis.

Sementara aku repacking barang-barang yang akan di bawa nanti. Tenda, trangia, sleeping bag sampai gitar tidak lupa aku packing. Bekal berupa mie dan lontong plastik yang sudah di buat bu Har pun tak ketinggalan ku masukkan ke dalam keril 50 liter. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Kata Kukuh, hanya sekitar dua jam trekking untuk bisa sampai ke gunung Prau, jadi tak usah takut kemalaman di jalan.

Kukuh memotong Carica

Carica yang sudah di potong dan siap dimasak 

Carica sudah matang di masak. Buahnya kami taruh di plastik, sementara airnya kami taruh di termos untuk nanti di hangatkan ketika kami ngecamp di puncak Prau. Jam sudah menunjukkan angka setenga tiga ketika aku, Kukuh dan Rudi, putra pak Har mulai berangkat dari rumah. Dengan menggunakan motor, kami berangkat menuju penginapan Bu Jono, tempat kami akan menitipkan motor. Kebetulan trek awal ke gunung Prau ini memang di mulai dari belakang penginapan bu Jono.

Sekitar 15 menit perjalanan menuju pertigaan Dieng. Sesampainya di penginapan bu Jono, kami sudah di tunggu oleh pak Didi, guide lokal Dieng. Berbincang-bincang sedikit dan meminjam sendok yang lupa terbawa, lalu kami menitipkan motor dan langsung berangkat trekking.

Berangkat dai rumah pak Har 

Perjalanan di mulai dari belakang penginapan bu Jono, kemudian melewati ladang-ladang penduduk yang di tanami kentang. Sore itu sangat cerah, namun karena ketinggian jadinya suhu lumayan dingin. Sekitar 15 menit berjalan melewati ladang penduduk, akhirnya kami sampai di pintu hutan. Suhu sudah semakin dingin, Kukuh dan Rudi memakai jaket disini, aku pun mengikutinya karena aku pun sudah merasa kedinginan. Pintu hutan di tandai dengan ujung nya perkebunan, selanjutnya adalah hutan lindung dimana didalam hutan tersebut penduduk dilarang untuk membuka lahan pertanian.

Melewati ladang penduduk

Pintu hutan 

Kami langsung melanjutkan perjalanan. Trek yang dilalui mulai menanjak namun masih agak landai. Terdapat beberapa pohon carica yang kami temui. Kemudian pohon pinus dan ilalang-ilalang tinggi. Trek adalah jalan tanah yang kering karena bukan musim hujan. Tak lama kemudian, pohon-pohon besar mulai jarang dan terdapat lembahan di sisi kanan kami berjalan.

Di sini pemandangan yang terlihat adalah ladang-ladang pertanian yang terdapat di bawah. Kemudian jika melihat ke kanan atas terlihat jelas gunung Prau yang puncaknya adalah datar panjang seperti perahu terbalik. Itulah juga kenapa gunung ini di sebut gunung Prau.

Trek setelah pintu hutan 

Kemudian kami akan melewati tugu perbatasan. Tugu ini adalah perbatasan antara Wonosobo dengan Batang. Jadi mulai titik ini, jalan yang kami injak sudah merupakan daerah Batang. Di tugu ini kami beristirahat sebentar untuk berfoto-foto. Kemudian karena mengejar waktu, kami melanjutkan perjalanan kembali.

Trek sudah mulai menanjak dan kadang berbatu. Sempat melewati hutan pinus yang kecil, kemudian dihadapkan dengan tanjakan yang lumayan terjal di banding dengan jalan-jalan yang kami lalui sebelumnya. Menurut Kukuh, ini adalah jalur teakhir menuju puncak. Jam ketika itu menunjukkan pukul lima sore. Artinya sudah sekitar dua jam kita berjalan. Melihat ke depan atas, tampak tiang pemancar yang merupakan puncak pertama gunung Prau makin jelas terlihat.

Tugu perbatasan Wonosobo-Batang 

Setengah jam berjalan akhirnya kami sampai di puncak pertama gunung Prau. Hari sudah mulai sedikit gelap ketika kami sampai. Melewati pemancar yang berjumlah 4 buah, kami menuju tempat nge camp berupa tanah datar yang di sisinya adalah jurang. Depannya terlihat jalur menuju puncak utama gunung Prau. Jalurnya terlihat jelas melintasi punggungan bukit. Aku mengusulkan untuk mendirikan tenda disini saja dan besok baru ke puncak utama gunung Prau.

Pemandangan sebelum puncak 

Trek sebelum puncak 

Suhu semakin dingin dan kabut sudah datang ketika aku mendirikan tenda. Sementara Rudi dan Kukuh mencari ranting-ranting untuk nantinya dibakar sebagai penghangat badan. Sambil bergetar kedinginan aku mendirikan tenda, akhirnya berdiri juga. Kemudian aku memasak air dan Rudi membuat api sebagai penghangat. Malam sangat cerah, tampak bulan bulat besar muncul di langit. Sementara itu terlihat di puncak utama sepertinya ada juga yang ngecamp mendirikan tenda. Terlihat dari cahaya-cahaya yang berasal dari sana. Tak lama kemudian ada satu rombongan 4 orang yang datang dan mampir sebentar. Mereka melanjutkan perjalanan ke puncak utama untuk ngecamp disana.

Di puncak pertama gunung Prau dengan latar belakang puncak utama 

Malam dilalui dengan menghangatkan carica yang kami bawa tadi sore. Rebusan airnya kami masak kembali, dan carica yang sidah dipisahkan kami rebus didalam air yang sudah wangi dan manis itu. Kukuh memainkan gitarnya ketika aku memasak, dan Rudi asik dengan api unggun kecilnya. Menambah hangatnya malam di tengah dinginnya gunung Prau.

Selain memasak carica, kami pun memasak mie rebus untuk makan malam. Lontong bikinan bu Har tak lupa kami keluarkan juga. Sangat dingin suhu malam itu, sehingga makan kami pun lahap dan sedikit mengusir dinginya malam. Puas bernyanyi, makan, mengobrol dan menghangatkan badan di api unggun yang di buat Rudi, aku pun tidur duluan karena mata sudah mulai mengantuk. Tidur di dalam tenda dengan sleeping bag di tambah jaket dan kaos kaki untuk mengusir dingin ternyata tidak terlalu berpengaruh. Dinginnya Prau tetap saja kurasakan sampai keesokan paginya.

Menghangatkan Carica 

Minggu, 19 Juni 2011

Pagi-pagi sekali aku bangun. Sekitar jam 5 pagi. Dingin masih sangat terasa, namun melihat keluar sudah sedikit terang. Sunrise, pikirku. Aku membangunkan Kukuh dan Rudi. Namun hanya Kukuh yang bangun, Rudi memilih melanjutkan tidurnya. Kami berdua keluar tenda dan mendapatkan pemandangan yang sangat indah. Sunrise di puncak Gunung Prau. Kukuh menyalakan api kembali untuk menghangatkan badan, sementara aku memasak air untuk membuat kopi. Agak lama kemudian Rudi bangun dan bergabung di luar. Dari puncak utama gunung Prau, terlihat rombongan lain pun asik menikmati sunrise.

Cuaca yang sangat cerah tanpa kabut membuat aku dapat dengan jelas melihat pemandangan indah dari sini. Di sisi kanan tendaku terlihat perkampungan jauh di bawah. Kemudian di depan tampak punggungan menuju puncak utama gunung Prau. Kemudian bukit teletubbies, begitu orang-orang menyebutnya. Sebuah savana luas membentuk bukit-bukit dengan pohon-pohon yang sangat jarang. Lebih jauh mata memandang, tampak jelas gunung Sindoro serta gunung Sumbing di belakangnya. Tak sabar aku untuk menuju puncak utama Prau.

Puncak utama gunung Prau dengan jalur punggungan

Di puncak gunung Prau

Matahari sudah mengeluarkan panasnya. Aku langsung menjemur barang-barang yang lembab karena dingin, serta membongkar tenda untuk kemudian di jemur. Kukuh asik dengan gitarnya. Rudi memfoto-foto pemandangan sekitar. Kemudian kami memasak kembali carica agar tubuh lebih segar.

Tak lupa membuat kopi kembali. Sekitar jam sembilan. Aku dan Kukuh berjalan menuju puncak utama Prau, sementara Rudi tidak ikut. Dia memilih tetap disini sambil membereskan barang-barang. Menuju puncak utama Prau tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 10-15 menit berjalan melewati punggungan yang selalu kulihat dari kemarin. Vegetasi adalah berupa ilalang kecil dan tanaman-tanaman pendek khas ketinggian. Aku memakai celana pendek yang membuat kakiku sering terkena daun-daun yang sedikit tajam, banyak juga luka-luka kecil di kakiku. Jalur menuju puncak utama Prau awalnya menurun, kemudaian landai dan hampir tiba di puncak agak menanjak.

Aktifitas pagi hari 

Keindahan di puncak Prau sulit di ceritakan lewat kata-kata. Kalian harus mencoba untuk kesini jika ingin lebih tahu keindahannya. Dari puncak Prau, gunung Sindoro dan Sumbing terlihat sangat jelas sekali. Kemudian di belakang ku terlihat jelas namun sangat jauh gunung Slamet, yang beberapa hari sebelumnya ku kunjungi. Sementara agak jauh di depan sebelah kiri mataku memandang, tampak jelas pula gunung merbabu, dan agak samar terlihat gunung Merapi di belakangnya. Melihat ke bawah, tampak Dieng dari ketinggian, dikelilingi pegunungan-pegunungan kecil seperti gunung Pakuwaja, gunung Sikunir dan pegununngan lainnya di Dieng. Tampak jelas pula telaga Warna yang terlihat warna biru nya dari atas sini.

Dieng dari puncak Prau, disebelah kanan adalah telaga warna

Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dibelakangnya terlihat jelas 

Yang paling menakjubkan adalah hamparan savana yang terlihat sangat dekat di depanku. Itulah bukit Teletubbies. Kemudian hamparan padang bunga di depanku. Bung-bunga kecil yang tumbuh serumpun dan sangat banyak, dengan warna bunga yang berlainan membuat carha nya suasana. Tampak juga edelweiss, bunga abadi khas ketinggian yang terlihat namun hanya beberapa batang saja disini. Puas kami berfoto-foto disini sampai akhirnya aku kepanasan karena matahari sudah mulai naik.

Terlihat di jam sudah pukul sebelas siang. Akhirnya kami kembali ke pemancar. Rudi sudah menunggu dan barang-barang sudah beres di packing kembali. Akhirnya kami pulang kembali ke bawah karena hari sudah siang dan aku harus menuju Jogja hari ini. Perjalanan pulang masih ditemani dingin sehingga rasa capai tidak terlalu terasa. Satu jam setengah kami turun dan akhirnya tiba kembali di penginapan bu Jono. Tempat kami menitipkan motor kemarin. Kukuh dan Rudi pulang, sementara aku melanjutkan perjalanan menuju Jogja.

Bersama pak Didi di samping penginapan Bu Jono 

Benar-benar gunung yang sangat mempesona. Terkagum-kagum aku dibuatnya karena keindahan alam yang terlihat. Suatu waktu nanti, aku ingin kembali lagi kesini. Menikmati carica di tengah dinginnya gunung Prau, sambil melihat padang bunga dan bukit teletubbies. Semoga…

Bukit teletubbies ketika kabut datang

Padang bunga dengan latar bukit teletubbies

Padang bunga gunung Prau 

Kukuh di padang bunga

Edelweiss gunung Prau

Disadur dari : (klik icon)